BUDIDAYA UDANG DENGAN METODE BIOFLOK ( PENGHEMATAN AIR)


           Sistem budidaya menggunakan teknologi bioflok tidak hanya menawarkan penghematan pakan karena mampu menekan rasio konversi pakan (FCR), tetapi juga mampu menjawab permasalahan lingkungan. Selama ini, aktivitas budidaya udang intensif dan super intensif menghasilkan limbah perikanan yang tidak sedikit. Bahan polutan ini berasal dari sisa pakan yang tak termakan ikan serta bahan-bahan organik hasil metabolisme ikan dan udang dalam bentuk feses, urin, dan bentuk lainnya.
Terakumulasinya senyawa organik dalam perairan, berdampak merugikan baik bagi lingkungan maupun kegiatan budidaya ikan itu sendiri. Nitrogen yang melimpah di dalam air, dalam bentuk senyawa amoniak, merupakan racun bagi ikan dan udang. Di samping itu, unsur fosfor dari sisa pakan yang tak termakan akan terakumulasi dan menimbulkan masalah lingkungan, antara lain eutrofikasi dan blooming populasi alga hijau biru (blue green algae) yang merugikan ikan.
Metode budidaya bioflok mampu meramu bahan-bahan yang sejatinya polutan menjadi pakan ikan yang bermanfaat. Hal ini tak lain karena adanya peran berbagai jenis mikroorganisme yang mampu menyintesis kelimpahan nitrogen menjadi senyawa protein yang dibutuhkan ikan.

Bioflok dan syarat lingkungan
Prinsip utama dari teknologi bioflok adalah menyerap dan memanfaatkan substansi atau material yang menjadi polutan di dalam air bagi kelangsungan hidup ikan yang dibudidayakan. Zat-zat tersebut di antaranya senyawa amoniak, yang digunakan sebagai nutrisi untuk menumbuhkan beberapa mikroorganisme, terutama bakteri heterotrof sebagai pakan ikan atau udang.
Untuk menjamin terbentuknya mikroorganisme tersebut, kondisi lingkungan perlu dimanipulasi. Beberapa di antaranya adalah dengan menjaga agar rasio C/N harus lebih tinggi dari 10 : 1. Selain itu, penggantian air tidak dilakukan terlalu sering dan aplikasi aerasi intensif di lingkungan air agar kandungan oksigen terlarut dalam air (dissolved oxygen) selalu berada pada kisaran 4 ppm atau 4 mg/L.
Menurut Ansari, agar bakteri heterotrof berkembang pesat, perlu ditambahkan sumber C atau karbon dari karbohidrat yang langsung dapat dimanfaatkan ke dalam air tersebut.  Sumber-sumber tersebut antara lain sukrosa atau gula tebu, molase, dan tepung tapioka. Selanjutnya, bakteri tersebut akan memanfaatkan unsur Nitrogen (N) anorganik dari senyawa amoniak (NH3) yang tersedia melimpah di dalam air untuk sintesis protein bakteri dan protein tunggal. Selanjutnya, protein yang dihasilkan oleh bakteri ini menjadi sumber pakan ikan.
Seperti dimaklumi, senyawa protein sangat dibutuhkan ikan agar pertumbuhannya optimal. Semakin tinggi protein yang dikonsumsi, semakin cepat pula pertumbuhan ikan. Bioflok merupakan sekumpulan berbagai jenis mikroorganisme, yang terdiri dari bakteri, zooplankton, dan protozoa. Di samping menghasilkan asam amino methionine, juga menyediakan vitamin, mineral, yang enzim yang dapat membantu proses pencernaan pakan pada ikan. Bentuknya menyerupai gumpalan yang mengapung dalam air.
Berkembangnya bioflok ditandai dengan adanya busa yang melimpah di permukaan air dan munculnya butiran yang melayang-layang di kolom air.

Sistem bioflok dalam petak tambak yang berbeda
Dalam penelitiannya, Nur Ansari melakukan pengamatan di dalam dua petak tambak dengan konstruksi yang berbeda. Tambak A terbuat dari beton dengan pelataran semen. Sementara tambak B merupakan tambak beton dengan pelataran tanah berpasir. Pada kedua tambak tidak dilakukan pergantian air; tetapi setiap hari selalu dilakukan penambahan air selama 8 jam ke dalam tambak tersebut.
Penambahan fermentasi probiotik dilakukan dengan dosis 5 mg/L setiap hari ke dalam dua tambak tersebut. Fermentasi ini dibuat dengan cara menambahkan 5 kg molase, 5 kg pakan, 10 kg dedak, 20 g ragi roti, dan 2 liter probiotik ke dalam 200 L air tambak dalam bak,. Selanjutnya, campuran tersebut diaerasi secara kuat selama dua hari. Setelah itu, campuran siap diaplikasikan ke dalam tambak.
Dalam tambak A, benih yang ditebar sebanyak 170 ekor/m2 untuk tambak A, sedangkan pada tambak B sebanyak 148 ekor/m2. Panen total yang dihasilkan tambak A sebanyak 34 ton/Ha dan tambak B 38 ton/Ha. Sintasan udang di petak A lebih rendah dari sintasan udang di petak B. Namun demikian dengan sintasan yang mencapai 88 – 99% selama pemeliharaan 140 hari, merupakan hasil yang sangat menguntungkan.
Berdasarkan pengamatan terhadap dua tambak tersebut, pemberian molase ke dalam tambak tidak berbanding lurus dengan tingkat kelangsungan hidup (sintasan). Sintasan pada tambak A, yang diberi molase, justru lebih rendah dari tambak B. Menurut pengamatan Ansari, meskipun tidak diberikan penambahan molase (tambak B), bioflok tetap terbentuk. Hanya saja terjadi agak lambat dibandingkan dengan tambak yang diberi molase. Hal tersebut disebabkan jumlah karbon sudah tercukupi dari karbon yang terkandung dalam pakan. Beberapa penelitian juga mengemukakan hal yang sama. Pada tambak intensif dan super intensif, penambahan karbon untuk pembentukan bioflok tidak diperlukan karena kandungan karbon dalam pakan sudah cukup tinggi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manual Perkerasan Jalan Tahun 2017

Pengertian dan Mamfaat Mineral Mangan

EKSTRAKSI ALUMINIUM DARI ZEOLIT ALAM SUMBAWA SEBAGAI BAHAN DASAR SINTESIS ɣ-Al2O3